Benarkah Indonesia Darurat Literasi?

Standar

Apa itu literasi?

Menurut kamus online Merriam-Webster, Literasi berasal dari istilah latin ‘literature’ dan bahasa inggris ‘letter’. Literasi merupakan kualitas atau kemampuan melek huruf/aksara yang di dalamnya meliputi kemampuan membaca dan menulis. Namun lebih dari itu, makna literasi juga mencakup melek visual yang artinya “Kemampuan untuk mengenali dan memahami ide-ide yang disampaikan secara visual (adegan, video, gambar).”

National Institute for Literacy, mendefinisikan Literasi sebagai “Kemampuan individu untuk membaca, menulis, berbicara, menghitung dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian yang diperlukan dalam pekerjaan, keluarga dan masyarakat.” Definisi ini memaknai Literasi dari perspektif yang lebih kontekstual. Dari definisi ini terkandung makna bahwa definisi Literasi tergantung pada keterampilan yang dibutuhkan dalam lingkungan tertentu.

Literasi

Di lain sisi, Education Development Center (EDC) menyatakan bahwa Literasi lebih dari sekedar kemampuan baca tulis. Namun lebih dari itu, Literasi adalah kemampuan individu untuk menggunakan segenap potensi dan skill yang dimiliki dalam hidupnya. Dengan pemahaman bahwa literasi mencakup kemampuan membaca kata dan membaca dunia.

Sementara menurut UNESCO, pemahaman orang tentang makna literasi sangat dipengaruhi oleh penelitian akademik, institusi, konteks nasional, nilai-nilai budaya, dan juga pengalaman. Pemahaman yang paling umum dari literasi adalah seperangkat keterampilan nyata — khususnya keterampilan kognitif membaca dan menulis — yang terlepas dari konteks di mana keterampilan itu diperoleh dan dari siapa memperolehnya.

Ternyata oh ternyata,  hasil penelitian Programme for International Student Assessment (PISA) menyebut, budaya literasi masyarakat Indonesia pada tahun 2012 terburuk kedua dari 65 negara yang diteliti di dunia. Indonesia menempati urutan ke 64 dari 65 negara tersebut. Sementara Vietnam justru menempati urutan ke-20 besar. Pada penelitian yang sama, PISA juga menempatkan posisi membaca siswa Indonesia di urutan ke 57 dari 65 negara yang diteliti.

Hasil kajian data statistik UNESCO tahun 2012 juga menyebutkan indeks minat baca di Indonesia baru mencapai 0,001. Artinya, setiap 1.000 penduduk, hanya satu orang saja yang memiliki minat baca…! Selebihnya, belum memiliki minat baca, dalam artian membaca buku atau bahan cetak.

Selanjutnya berdasarkan studi The World’s Most Literate Nations (WMLN) 2016 minat baca di Indonesia menduduki peringkat 60 dari 61 negara. Indonesia hanya unggul satu peringkat dari Botswana.  Apakah data ini cukup untuk menyatakan Indonesia darurat lilterasi?

Pasti akan muncul banyak pertanyaan:  “Mengapa bisa terjadi demikian?”.  Dan bisa jadi akan banyak alasan untuk jawabannya dan mudahan tidak ada pihak yang mungkin disalahkan.

Dengan keyakinan bahwa negara pasti akan memperhatikan dan berupaya sekuat daya upaya untuk mengembalikan harkat martabat Indonesia di kancah literasi, tanpa maksud hendak membandingkan namun dengan semangat untuk belajar mencari tahu ada baiknya kita melongok ke urutan pertama dari 61 negara yang mengikuti survey tersebut yaitu Finlandia sebagaimana yang dikutip dari laman jawapos.com. Berbagai opini berkembang mengenai hal apa yang melatar belakangi budaya literasi di negara Eropa utara tersebut.

Apakah karena Finlandia memiliki musim dingin yang panjang sehingga membuat kegiatan membaca menjadi salah satu cara menyiasati cuaca dingin? Atau, apakah karena budaya masyarakat Finlandia yang terkenal soliter?

Berkaca pada Finlandia, European Union High Level Group of Experts on Literacy (ELINET) merilis studi tentang faktor yang mendukung tingginya budaya literasi di negara dingin itu. Sebagai rekomendasi untuk negara-negara lain, ada tiga hal yang dapat difokuskan untuk meningkatkan budaya literasi.

Pertama, menciptakan lingkungan yang mendukung literasi. Kedua, meningkatkan kualitas pembelajaran, dan ketiga adalah meningkatkan partisipasi, inklusi, dan kesetaraan (Garbe et. al., 2016). Yuk lihat bahasannya.

Menciptakan lingkungan yang mendukung budaya literasi

budaya literasi, pendidikan di finlandia, perpustakaan di finlandia

Perpustakaan di kota Espoo, Finlandia (Libraries.fi)

Di Finlandia, pemerintah berusaha memaksimalkan fungsi sarana umum untuk mendukung budaya literasi. Di beberapa tempat umum, seperti museum, kantor polisi, dan pusat kebudayan, selalu disediakan tempat bagi anak untuk membaca, dilengkapi dengan peralatan menulis, menggambar dan mewarnai.

Sementara dirumah, orang tua adalah guru pertama bagi anak yang membentuk kemampuan bahasa dan komunikasi. Termasuk membentuk sikap seorang anak terhadap minat membaca melalui perannya sebagai panutan. Lantas, menyediakan bahan bacaan yang baik, dan membacakan cerita untuk anak.

Sekolah memiliki peranan dalam membantu perkembangan motivasi membaca pada anak. Menyediakan lingkungan pendukung seperti ruang kelas dan perpustakaan, berbagai macam jenis buku dan tempat yang nyaman untuk membaca. Sudah menjadi hal umum jika perpustakaan sekolah atau student’s lounge dilengkapi dengan sofa, karpet, dan bantal untuk memberikan kenyamanan selama membaca buku.

Perpustakaan dan tempat umum yang dikelola pemerintah juga bertanggung jawab dalam menyediakan bahan bacaan bagi anak dari berbagai latar belakang kelas ekonomi. Anak-anak sudah memiliki library card sejak mulai masuk sekolah. Seringkali mereka pergi ke perpustakaan bersama orang tua dan guru di sekolah. Orang tua memberi kebebasan pada anak untuk memilih bukunya sendiri.

Meningkatkan kualitas pembelajaran

Pendidikan dasar atau yang dikenal dalam comprehensive school memiliki peranan penting dalam menanamkan budaya literasi pada siswa di Finlandia. Pendidikan dasar dimulai pada usia 7 tahun sampai dengan usia 15 tahun.

Namun, pedidikan literasi sudah dimulai sejak anak menempuh pendidikan pra-sekolah. Pada tahap pra-sekolah, pendidikan literasi yang didapat bukanlah belajar membaca dan menulis tetapi bagaimana anak mampu berkomunikasi, mengenali lingkungan sekitarnya, bersosialisasi, dan mengendalikan emosinya.

Guru membacakan cerita dan anak-anak dapat bermain peran berdasarkan cerita tersebut. Pada tahun-tahun awal pendidikan di sekolah dasar, siswa mendapat pelajaran bahasa ibu yang disebut äidinkieli dalam bahasa Finlandia. Serta, literatur yang menekankan tentang berbagai jenis teks. Guru menggunakan teks otentik yang berbasis pengalaman sehari-hari, teks dari media, maupun teks online sebagai bahan ajar.

Finlandia memiliki perhatian khusus terhadap siswa yang mengalami kesulitan membaca dengan memaksimalkan peran sekolah, guru, dan orang tua. Salah satu caranya adalah dengan melakukan penanganan sedini mungkin yaitu menugaskan guru yang kompeten untuk mendampingi siswa yang mengalami kesulitan membaca dengan memberikan remedial teaching.

Guru juga berperan dalam memotivasi siswa salah satunya dengan memberi kebebasan pada siswa untuk mengakses teks, buku, atau media cetak dan online yang sesuai dengan minat siswa tersebut. Guru, sekolah, dan orang tua berusaha memberikan pengalaman membaca yang menyenangkan dan menarik sehingga timbul minat siswa untuk terus belajar membaca dengan baik.

Meningkatkan partisipasi, inklusi, dan kesetaraan

Berbicara tentang partisipasi, inklusi, dan kesetaraan, faktor ini sangat ditanamkan dalam pendidikan di negara Eropa utara, termasuk Finlandia. Kesetaraan tersebut tidak hanya menyangkut pendidikan formal gratis yang dapat diakses oleh seluruh masyarakat, bahkan konsep kesetaraan tersebut dimulai sejak bayi masih didalam kandungan.

Di Finlandia, bayi yang baru lahir akan mendapatkan maternity package yaitu paket yang berisi berbagai perlengkapan bayi seperti baju, produk perawatan bayi, mainan, dan tidak lupa dilengkapi dengan buku. Parental allowance atau cuti setelah melahirkan, didapat oleh kedua orang tua dan berlangsung 9 bulan lamanya. Tujuannya, orang tua dapat berpartisipasi aktif dalam perkembangan dini seorang anak dengan membacakan buku atau bercerita kepada anak.

Menyangkut fasilitas umum, perpustakaan di Finlandia mendukung konsep inklusi dan kesetaraan. Seperti salah satu perpustakaan di kota Kuopio yang memberikan layanan untuk lansia dan penyandang disabilitas dengan mengantarkan buku atau mengambil buku yang hendak dikembalikan.

Rahasia Budaya Literasi Finlandia, Bayi Lahir dapat Paket Berisi Buku

Ternyata yang paling menarik dari semuanya adalah budaya memberikan hadiah berupa paket buku kepada bayi yang baru lahir.  Hmm… bahkan sebelum bisa membaca rakyat negara ini telah menyiapkan diri untuk menyambut dunia.  Bukankah BUKU adalah JENDELA DUNIA dan MEMBACA adalah kuncinya.

source : literasi.jabarprov.go.id/jawapos.com/lainnya

Tinggalkan komentar